Cinta
Dalam Hati
Pagi ini sungguh pagi yang indah,
namaku Rina, tapi teman-teman sekelasku biasa memanggil aku cupu, karna
penampilanku yang tidak mengikuti mode jaman. Kini aku bersekolah di SMA Taruna
Mandiri, Tangerang Selatan, Jakarta. Aku sungguh menyadari kalau aku sekolah
hanya dengan besiswa oleh karena itu aku tidak boleh macam-macam apalagi berani
bertengkar disekolahan ini karna jika itu sampai terjadi pasti beasiswa itu
akan dicabut lagi. Aku menyadari Ibuku bekerja keras untukku, supaya kami bisa
makan. Sementara ayahku entah sampai sekarang aku juga tidak tahu Ia ada
dimana. Aku hidup dikeluarga yang sederhana dan mungkin bahkan kurang dari kata
cukup.
Pagi ini seperti biasa dengan
sepeda kesayanganku aku berangkat kesekolah, sampai digerbang sekolah aku masuk
disana sudah terlihat bapak ibu guru piket dan juga satpam sekolah. Mungkin
disekolah ini yang mengendarai sepeda hanya aku, karna mayoritas semua orang
disekolah ini orang kaya, menengah keatas. Dan bahkan kebanyakan dari mereka
membawa mobil mewah untuk kesekolah. Dan aku membawa sepeda butut kesayanganku.
“pagi Ran” kata Tania dari mobil
mewahnya “masih aja lo pake sepeda butut lo?” tambahnya
“hm emang
kenapa?”
“lo tau kan kalo sepeda kayak gitu
tu pantesnya dibuang, dibakar dijual aja udah nggak laku!!!!”
“oh begitu ya?”
“oh, dasar miskin! Makanya hidup
jadi orang kaya dong!!!”
Tanpa berfikir panjang aku langsung
berjalan masuk untuk memarkirkn sepedaku, setiap hari Tania dan teman-temannya
melontarkan cacian,bulian dan semua itu aku coba untuk menerima, aku tidak
mungkin membalas cacian itu, memang siapa aku. Berani-beraninya membalas cacian
anak donatur terbesar di sekolah ini.
Aku berjalan masuk menuju kelas,
disana ada Erin teman sebangkuku yang hingga saat ini masih mau berteman
denganku. Dan disana aku juga melihat Denta. Orang yang aku kagumi, orang yang
benar-benar mampu membuatku menympan hati padanya. Namun rasa hanyalah asa.
Yang semakin lama semakin menyisakan air mata. Air mata yang tak pernah keluar
dan hanya ada dihati ini dan semakin hari semkain sakit.
“heii” kata Erin yang melihatku
sedari tadi melamun
“iya kenapa rin?”
“ lo ngalamunin siapa? Denta ya?”
“nggak kok, bukan bukan udah ya..”
“ sini drh coba lo duduk dulu”
“kenapa rin?” kataku membalas
kata-kata Erin sembari berjalan ke bangku tempat duduk
“gua Cuma mau bilang aja sama lo”
“mau bilang apa?”
“lo suka kan sama Denta? Kenapa sih
lo pake nyembuyiin rasa lo, gw tau lagi sejak awal tatapan lo ke Denta itu
kayak gimana”
“emang kayak gimana?”
“lo suka kan sama dia?”
Entah kenapa rasanya hati ini
seperti teriris prih saat Erin menanyakan tentang hal itu, aku memang menyukai
Denta namun rasa sayang atau rasa cinta itu nggak harus diungkapin kan? Aku
sadar siapa diriku dan siapa Denta. Bagaimana beda derajat kami,beda kasta
kami,dan tentunya sangan berbanding terbalik apabila sampai berani-beraninya
aku mengungkapkan rasa sayang ini kepada Erin, dan bagaimana kalu sampai Denta
tau? Aku sudah cukup tau bagaimana kedekatan
Denta dengan Tania.Lamunanku seketika pecah saat bel masuk masuk berbunyi.
Senyum dari Denta membayangi benaku. Aku benci mengakui ini namun bagaimana
dengan diriku sendiri, aku bisa saja membohongi orang lain namun aku tak
sanggup untu membohongi diriku sendiri.
Pelajaran hari inipun dimulai,
entah kenapa tak satu pelajaranpundapat aku terima, aku terus kembali
mempertanyakan apa yang ditanyakan Erin tadi. Sesekali aku mengambil sedikit
waktu untuk menatap Denta dari kejauhan. Kutatap senyumnya, dan kutatap semua yang
ada pada dirirnya, namun setiap aku menatapnya yang aku lihat adalah tatapan
matanya kepada Tania yang sagat dapat ditebak kalau Ia menyimpan rasa dengan
anak donatur terbesar sekolah ini itu.
“udahlah, gw tau kok kalo lo suka
sama Denta. Lo bisa aja bohongin orang lain. Tapi lo nggak bisa boongin gw,
kita temenan udah lama, gw sahabat lo” bisik Erin
“kamu ni apa-apa an sih Rin. Aku tu
nggak suka sama Denta rin”
“terus tatapan lo tadi? Inget ya lo
bisa aja bohongin gw tapi tatapan mata lo nggak akan pernah bisa bohong”
“ya udah jangan keras-keras. Udah
lah Rin nggak usah dibahas, aku pikir ini nggak penting”
“gw pengen ajak lo kesuatu tempat.
Kita colut aja dari sini”
“ngapain?”
“nggak lama kok, ayo”
Sambil membenarkan kacamataku aku
berjalan mengikuti Erin yang entah membawa kesuatu tempat yang jujur saja aku
sendiri juga penasaran. Ternyata Erin membawaku ke taman sekolah. Disana Erin
mengajakku duduk dan menyuruhku untuk menyeritakan semuanya. Sebenarnya kau
ragu untuk menceritakan semuanya kepada Erin.
“iya rin bener. Aku emang suka sama
Denta sejak pertama kali ospek di malam keakraban siswa, tapi aku sadar kok rin
siapa diriku dan aku nggak pantes aja suka sama dia. Dia levelnya Cuma sama
orang kayak Tania dan selebihnya cinta Denta nggak akan pernah bisa berlaku
buat aku rin. Ngimpi aja kalo aku bisa dapetin hatinya denta. Aku miskin.
Jelek,cupu. Dan begitulah, sementara Denta? Kamu tau kan siapa dia. Dia seorang
bintang di sekolah ini. Aku benci buat akuin semua ini, tapi aku setiap hari
emang harus nahan rasa sakit dihati ini yang luar biasa saat lihat dia sama
Tania. Aku benci rin, kenapa rasa sayang ini harus buat Denta”
“udahlah Rin, lo mikir apa sih.
Rasa sayang itu wajar kok, buat siapa aja dan nggak mandang apa aja”
“tapi akun nggak pernah berharap
buat sayang sama Denta, rasa itu tiba-tiba aja datang dan sulit buat diilangin.
Rasa sakit setiap hari aku rasain rin”
“kenapa lo nggak pernah bilang sama
gw?”
“karna aku nggak siap, buat ngakuin
sama diri aku aja aku nggak siap apalagi buat ngakuin sama kamu, sahabatku”
“rin, gw
yakin kok lo pasti bisa ngejalanin semua ini, tenang aja ka nada gw”
Setlah pulang sekolah aku
memutuskan untuk mampir ketoko buku, dan mencari buku yang aku cari. Sialnya
disana ada Tania dan teman-temannya. Aku yakin mereka nggak akan membiarkan aku
untuk hidup tenang. Aku juga nggak tau kenapa mereka benci banget sama aku.
“eh elo orang miskin, ngapain lo
mau ketoko buku? Mau ngemis? Ato mau jadi cleaning servis?” Tanya Tania
“mau beli buku kok”
“lo mampu ya beli buku disini? Ha?
Nggak salah denger kan gw?” ejek Tania
“aku mau beli buku disini”
“oh iya, gw denger-denger gosipnya
lo suka sama Denta? Iya kan?”
“nggak kok, aku nggak suka sama
Denta”
“gak usah bohong deh lo, Cindy yang
bilang sendiri ama gw, karna dia denger sendiri pembicaraan lo taman sekolah
sama Erin dongok itu kan!”
“tapi aku nggak suka sama Denta
Tania. Aku beneran nggak suka”
“hallah nggak yusah ngeles deh
lo!!!” bentak Cindy
“oke guys, stop, biarin aja dia
suka sama Denta. Tapi biar dia sendiri yang ngrasain juga kalo itu Cuma bakalan
jadi mimpi yang nggak pernah terwujud! Ngimpi aja lo bisa dapetin Denta. Lo
ngimpi sampe lo jatoh!! Dan sampe lo sakit!! Lo nggak akan pernah bisa dapetin
Denta! Inget itu ya cewek miskin!!”
Hari itu benar-benar sakit hati ini
seperti tamparan yang sangat keras, aku memang hanyalah seorang pemimpi yang
hanya punya harapan untuk mendapatkan Denta. Aku tidak akan pernah mungkin
mendapatkan Denta. Jangankan mendapatkannya, mendekatinya saja itu tidak akan
pernah mungkin terjadi.
Sepulang dari toko buku aku menuju
rumahku, dengan lamunan aku mengayuh sepedaku, dan hanya berharap sampai
dirumah dan akan membantu pekerjaan ibuku. Entah sengaja atau tidak sebuah
mobil sedan hitam dari belakan menyerempetku dan aku jatuh dari sepeda. Seorang
laki-laki yang sepertinya aku kenal keluat dari mobil itu dan menghampiriku.
Ternyata dia adalah Denta.
“maaf-maaf gw nggak sengaja lo
nggak papa?”
“nggak kok aku nggak papa, permisi”
“tunggu-tunggu Rin. Tapi tangan lo
luka sini biar gw obatin”
“em, nggak perku nggak usah aku
baik-baik aja kok”
“beneran nggak papa”
“iya, paling Cuma lecet, biar nanti
aku obatin sendiri. Permisi”
Dan aku meninggalkan tempat itu, detak
janungku memang semakin tak terkontrol ketika Denta mennyai tentang keadaanku.
Namun aku harus bisa menyembunyikan perasaan ini. Apalagi Tania sudah tau
tentang perasaanku kepada Denta. Aku bingun entah apa yang harus aku lakukan,
aku muag!
Sesampainya dirumah ada Ibu yang
sudah setia dengan pekerjaan yang menumpuk. Dan Ibu langsung kaget dengan
kedaan ku yang dalam kondisi seperti itu.
“lho Rin, tanganmu kenapa?”
“nggak papa bu, tadi jatuh dari
sepeda”
“kenapa bisa begitu?”
“Rina aja yang teledor bu”
“yaudah sini ibu obati lain kali
kamu harus hati-hati ya”
“iya bu”
Maafin Rina ya bu, Rina Cuma nggak
mau aja bikin Ibu khawatir. Maafinya bu, rina bnere-bener minta maaf. Semakin
lama Ibu semakin renta, suatu hari nanti kalau sampai aku bertemu lagi dengan
bapak, aku janji aku akan membalaskan dendamku bu, demi Ibu. Demi Ibu, aku
sayang sama Ibu.
Ketika cinta meninggalkan asa, aku
tahu aku hanya ingin engkau tau tentang perasaan ini, namun ini salahku juga
kenapa aku harus mengagumimu, suatu hari jika waktuku telah habis, aku hanya
ingin engkau tahu, engkau pernah berharga dihatiku. Namun jika kau tidak
taupun, aku juga tidak akan pernah memintamu untuk tahu karna memang selayaknya
aku harus melupakanmu.
Hari-hariku kini tersa semakin
berat, entah karna apa, aku hanya ingin menjalani hidupn ini seperti dahulu
saat aku tidak mencintainya, hanya sederhana, namun caraku melakukannya cukup
sulit. Bagaimana aku bisa selemah ini, hanya karna sebuah rasa aku seperti
menyia-nyiakan tujuan hidupuku. Hanya karna rasa aku berjalan seperti tanpa
tujuan. Harusnya tidak jadi seperti ini, aku hanya ingin hisup sederhana, aku
hanya ingin membahagiakan ibuku walau tanpa ayahku. Aku ingin membuktikan
kepada ayahku, bahwa suatu hari aku akan membanggakannya walau Ia telah
mengecewakan aku dan Ibuku. Aku hanya ingin seperti itu. Tapi aku seakan rapuh
ketika rasa ini ini benar-benar menyiksaku, aku juga menyadari siapa diriku, orang
yang sangat tidak pantas bersanding dengannya. Aku benci,aku benci semua ini.
Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik namun menjadi yang terbaikpun juga
seakan orang-orang itu selalu membenciku. Aku hanya menjadikan semua kata-kata
dari Ibu sebagai pedoman hidupku selama 16 tahun ini.
Dipagi ini aku berangkat kesekolah
dengan berjalan kaki, sepeda yang 2 hari lalu rusak parah. Dijalan aku melihat
Tania yang akan menyebrang, kebetulan hari ini sepertinya Tania diantarkan.
Dari arah berlawanan ada sebuah truk container melaju begitu cepat, dan aku
memutuskan untuk menyelamatkan Tania. BRUKKKK!!! Kesadaranku hilang seketika.
Didalam gelapku yang aku pikirkan
adalah wajah Ibu, aku tidak tau benar atau tidak yang aku lakukan tetapi Ibu
selalu menanamkan bahwa kita tidak perlu untuk membalas kejahatan dengan
kejahatan,tapi balaslah kejahatan dengan kebaikan. Hanya itu saja yang saat ini
aku jadikan sebagai penyemangat hisupku saat Tania dan teman-temannya mencaci
diriku. Aku terbayang kebersamaanku engan Ibu, akankah hidup ini berlanjut?
Ungkin saja iya, tapi mungkin saja tidak.
Kurasa hanya tinggal harapan dan
doa yang dapat membantuku untuk hiidup, aku sangat ingin hidup lebih lama lagi
dan menatap Denta lebih lama lagi, namun jika Tuhan memintaku untuk mengahkiri
hidup ini akupun juga rela, menerima dan tabah. Aku hanya kasihan kepada Ibu
karena ayah kami berdua jadi menderita, jika aku harus pergi mungkinkah Ayah
akan kembali pada Ibu? Entah berapa lama aku koma, aku sanggup membuuka mataku
perlahan disana juga ada Ibu. Rasanya sakit sekali entah apa yang terjadi
denganku, bahkan aku tak sanggup menahan rasa sakitnya. Samar-samar kudengar
dari kamar sebelah ada yang terluka sakit parah dan Ia sangat membutuhkan donor
mata, siapa dia. Aku kembali menatap Ibu, wajah rentanya semakin membuatku Iba,
Ya Tuhan sanggupkah aku bertahan demi Ibu?
“Bu?” panggilku lirih sambil menahan
rasa sakit yang luar biasa
“Rina, kamu sudah bangun nak?”
“apa yang terjadi sama Rina Bu?”
“kamu kecelakaan nak, saksi melihat
kamu, kalau kamu sedang menyelamatkan teman kamu yang akan tertabrak Truk, tapi
justru kamu sendiri yang tertabrak nak. Ibu sangat khawatir dengan kamu. Dan
teman kamu, jatuh terpentuk Batu, yang membuat matanya buta selamanya”
“ha?”
“’kamu nggak papa kan Rina?”
“bu, boleh Rina bicara sama Ibu?”
“tentu saja boleh nak”
“Rina minta sama Ibu, kalau terjadi
apa-apa sama Rina, tolong, sumbangin aja mata Rina sama Dia, Dia teman baik
Rina bu, rina mohon sama Ibu”
“apa maksud kamu Rina?”
“Rina udah nggakkuat ngrasain rasa
sakitnya Bu, ini sakit sekali, semuanya sakit Bu”
“tapi Rina kamu harus sembuh demi
Ibu”
“bu, Rina sayang Ibu”
Aku tidak tahu lagi yang aku
rasakan hanyalah tidur terpejam, yang ternyata terpejam untyk selamanya, aku
sendiri tidak tahu berapa lama umurku, aku tidak pernah menatap dunia
sebelumnya tetapi saat itu aku mampu menatap dunia dan melihat keindahannya,
walaupun cinta yang kupendam tidak pernah diketahui Denta, namun dengan mata
yang akau punya kini aku mampu menatap Denta, walau beda raga namun dengan mata
itu DEnta juga sanggup menatapku, sampai kapanpun hanya itu yang aku harapkan
menatap Denta walau tak dapata memilikinya, hingga aku pergi rasa ini tak kan
terbalaskan, aku perbah menyesal namun penyesalanpun tak berarti, aku
menyinpannya, aku masih menyimpan rasa itu hingga kini aku telah tiada. Yang
harus tetap mereka tahu adalah bahwa aku sangat menyayangi mereka semua, walau
sampai kapanpun, walaupun aku telah tiada, rasa sayang itu tidak akan pernah
mati. Akan selalu ada untuk mereka semua. Aku sayang mereka.